Wednesday, December 21, 2011

“Ketika Bantuan Justru Lebih Menjerumuskan” (Studi Kasus Afrika)

     Dalam MDG (Millenium Development Goal), usaha untuk melawan poverty menjadi urutan pertama. Poverty disadari merupakan problem besar yang harus dihadapi dunia sekarang ini. Dalam jenisnya, poverty dibagi atas 3, yaitu relative poverty, moderat poverty, dan extreme poverty. Jenis poverty yang ada di Afrika adalah extreme poverty dimana penduduk sama sekali tidak mempunyai apa-apa untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Ini lah yang kemudian menjadi perhatian bagi negara-negara maju untuk membantu Afrika untuk keluar dalam kondisi extreme poverty ini.
      Salah satu cara yang dilakukan oleh negara-negara maju untuk mengatasi masalah di Afrika adalah dengan membentuk ODA (Official Development Assistance) yang memberikan bantuan secara berkala di negara-negara Afrika. Besar bantuan yang diberikan adalah 0.7 % dari jumlah GNP dari negara-negara anggota ODA. Mekanisme bantuannya adalah dengan cara mengumpulkan persenan bantuan yang disisihkan oleh negara  ODA yang kemudian didistribusikan langsung ke negara-negara Afrika. Bantuan ini dapat berupa technical assistance atau fresh money. Technical assistance lebih focus bagaimana membangun infrastruktur di negara-negara Afrika. Sedangkan fresh money lebih memberikan burden kepada negara penerima untuk mengelola Aid tersebut. Banyak yang sangsi terhadap keefektifan bantuan dalam bentuk Fresh Money. Mengingat keadaan di Afrika yang “tidak siap” untuk menerima Aid ini. Tetapi secara keseluruhan yang akan menjadi perdebatan adalah apakah memberikan Aid itu efektif?
      Terdapat 2 perdebatan besar mengenai masalah Aid di Afrika, yaitu Kubu pro dan kontra bantuan untuk melepaskan Afrika dari jeratan extreme poverty dengan bantuan (Aid). Aid yang akan dijelaskan di sini adalah Aid murni, yaitu bantuan yang diberikan tanpa adanya syarat-syarat diberikannya Aid tersebut. Aid ini pun diberikan secara cuma-cuma tanpa harus dikembalikan kepada negara-negara donor. Alasan negara pendonor dalam memberikan bantuan ini berdasar pada rasa prihatin terhadap negara-negara Afrika. Dimana, katanya, mereka memiliki tanggung jawab moral dalam mengatasi masalah di Afrika.
      Masalah extreme poverty yang ada di Afrika berbeda dengan apa yang ada di region lain. Itulah sebabnya, menurut kubu yang yang pro terhadap Aid, perlu adanya perlakuan khusus untuk kasus yang ada di Afrika. Contoh konkretnya adalah apa yang terjadi di negara-negara Asia. Pada dekade 70-an sampai dengan 80-an, banyak negara-negara di Asia yang juga termasuk kategori dalam katogeri extreme poverty. Namun dengan kebijakan yang diambil, negara-negara di Asia ini bisa bergerak keluar dari lingkaran extreme poverty ini. Menurut kubu pro, hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan kondisi lingkungan yang sangat ekstrem. Pada decade 70-80, salah satu cara yang dilakukan oleh negara-negara Asia untuk keluar dari lingkaran extreme poverty adaah dengan mengaplikasikan konsep Green Revolution di negaranya. Afrika tidak memiliki dan tidak dapat melaksanakan Green Rovolution. Mengapa? Karena Green Revolution memerlukan banyak hal. Salah satunya adalah irigasi. Bagaimana mungkin Green Revolusi di adakan di Afrika jika di sana menemukan air pun sulit? 96 % dari produk pertanian Afrika adalah hasil pertanian tadah hujan.
      Alasan Kedua, yang dikatankan oleh kubu pro yang digawangi oleh Jeffrey Sachs dengan bukunya “The End of Poverty” mengatakan bahwa Afrika adalah negara yang terisolasi secara ekonomi. Daerah-daerah pusat perdagangan mereka jauh dari laut. Mereka membangun pusat perdagangan jauh dari pelabuhan sekali lagi karena faktor lingkungan. Orang Afrika sedikit yang tinggal di wilayah pesisir karena wilayah pesisir di sana panas dan kering. Mereka lebih memilih tinggal di dataran yang agak tinggi seperti di dataran tinggi Ethiopia, Rwanda, atau Burundi. Masalahnya adalah bagaimana bisa orang-orang yang tinggal di daerah tersebut malakukan perdagangan jika jarak antara pelabuhan dan pusat perdagangannya terlalu jauh. “Itu lah alasan mengapa Afrika harus dibantu”, menurut kubu pro.
      Nah, di sini lah masalahnya. Yang ingin saya jelaskan di sini adalah bagaimana bantuan (Aid) itu jutsru lebih menjerumuskan Afrika ke dalam lembah kemiskinan. Saya akan menjelaskan bagaimana jika suatu negara di beri Aid secara terus menerus justru akan membuat negara tersebut tambah tergantung. Di sini dapat diambil pelajaran bahwa Aid justru lebih menjerumuskan jika diberi secara terus-menerus karena mengakibatkan dependency secara terstruktur dan economic laziness.
      Bantuan ke Afrika oleh negara-negara maju sudah ada sejak tahun 70-an. Follow-up yang penulis ketahui dari rencana bantuan di Afrika adalah ditandatanganinya perjanjian Monterrey Consensus oleh oleh Amerika dengan mewakili negara maju untuk member bantuan sebesar 0.7 % dari GNP yang dimiliki. Tercatat bahwa jumlah Aid yang Afrika dapatkan pertahun sebesar 50 juta dollar US, dan ini sudah berlangsung selama beberapa dekade. Aid yang kita bicarakan disini bukan Aid yang berikan ketika ada bencana, seperti bantuan untuk korban Badai Katrina atau bantuan bantuan untuk korban Tsunami Aceh. Aid yang dibicarakan di sini adalah Aid yang diberikan secara berkala dan sistemik. Tentu dengan jumlah yang besar juga.
      Jika menurut kubu yang percaya dengan kebaikan Aid itu, maka dimana bukti bahwa Aid berperan dalam perkembangan Afrika? Sudah berapa banyak negara Afrika yang keluar dari jeratan extreme poverty? Sudah berapa banyak negara yang lepas dari kekurangan pangan dan kelaparan?  Sudah berapa negara yang “setidaknya” sudah dapat dikatakan menjadi memiliki ekonomi yang progresif? Sudah berapa negara yang juga ikut dalam perkembangan ekonomi, misalnya dalam forum G-20? Yah, memang ada beberapa negara yang bisa dikatakan berkembang, misalnya Afrika selatan. Tapi itu bisa dihitung dengan jari. Dari 54 negara di Afrika, yang dikatakan baik perekonomiannya cuma beberapa negara. Padahal Aid untuk membantu negara ini sudah berlangsung kurang lebih 50 tahun. Coba dipikir-pikir lagi efektivitas dari Aid itu sendiri. Di paragraf atas dijelaskan bahwa salah satu yang menjadi alasan bagi negara maju untuk membantu Afrika karena Afrika berada di kondisi alam yang tidak mendukung. Pertanyaannya adalah, selama 50 tahun Aid itu berjalan, mengapa infrstruktur untuk membantu perkembangan perdagangan ekonomi Afrika tidak banyak membantu? Jika misalnya terdapat isolasi ekonomi karena jauhnya pelabuhan dengan pusat perdagangan, maka mengapa tidak dibuat jalan raya atau infrastruktur untuk memperlancar distribusi barang. Kalau pun jalannya sudah ada dan infrastrukturnya sudah terbentuk, lalu mengapa Afrika masih dalam kemiskinan?
      Pertanyaan yang mendasar ditulisan ini adalah mengapa Aid itu justru berdampak buruk terhadap negara-negara Afrika dengan kata lain mengapa rasa prihatin negara maju tidak membantu Afrika untuk keluar dari masalah social ekonominya?
      Dambisa Moyo dalam bukunya “Dead Aid” mengatakan bahwa Aid mengakibatkan adanya Economic Laziness di negara-negara Afrika. Economic Laziness adalah keadaan dimana tidak ada geliat ekonomi yang berarti dalam suatu negara. Negara tidak menghasilkan pendapatan yang nantinya akan digunakan dalam membiayai pengeluaran negara. Sebagian besar expenditure negara menggunakan dana dari Aid itu sendiri. Bayangkan saja, Nigeria adalah salah satu negara yang menerima Aid dimana 97% persen dari APBN-nya berasal dari dana bantuan (Aid). Lalu dimana tanggung jawab pemerintah? Dimana peran pemerintah dalam perekonomian? Pemerintah seakan lepas tangan untuk mengusahakan perekonomian yang lebih baik untuk negaranya. Mereka terlalu nyaman dengan keadaan sekarang. Dimana mereka hanya perlu menengadahkan tangan dan bantuan pun mengucur.
      Ada Sepuluh alasan mengapa Aid itu tidak berhasil di Afrika menurut Dambisa Moyo. Alasan pertama menurutnya karena banyaknya korupsi di sana. Banyak contoh untuk membuktikan hal ini. Misalnya Mobutu Sese Seko dari Republic Democratic Kongo yang terbukti melakukan korupsi. Idi Amin yang juga terbukti korupsi. Baru-baru ini mantan Presiden Malawi ditangkap karena kasus korupsi. Hal ini membuktikan bahwa korupsi sudah mengakar dari atas ke bawah di sana. Manurut penulis sendiri, hal ini bukan terjadi tanpa sebab. Banyak korupsi yang terjadi adalah akibat dari keadaan yang terjadi disana. Bayangkan saja jika banyak bantuan berupa dana yang didapat oleh suatu negara Afrika, pemerintah pun bingung untuk menyalurkan kemana yang ujung-ujungnya masuk ke kantong sendiri.
      Dipikir-pikir, apa yang terjadi kepada negara yang mendapatkan bantuan (Aid) secara sistemik seperti menaruh bom waktu di negaranya. Negara penerima Aid, apalagi yang keseluruhan APBN bergantung pada Aid, tentu sangat butuh dengan Aid itu sendiri. Bom waktunya adalah bagaimana ketika NGO-NGO atau bantuan yang di sana diberhentikan? Saat ini, Amerika dan negara-negara Eropa juga berada dalam masa krisis. Bagaimana mungkin Amerika atau pun negara-negara Eropa akan mampu membantu Afrika jika negara pendonor sendiri sedang kesusahan dalam masalah ekonominya. Memang sekarang dana masih mengucur ke Afrika, tapi siapa yang bisa menggaransi jika 5 atau 10 tahun kedepan bantuan itu masih terus ada. Jika Afrika sendiri tidak menyadari masalah ini, selamanya mereka akan tetap dalam masalah yang sama.
      Pelajaran yang dipetik adalah bantuan (Aid) memang bisa sangat membantu. Tetapi jika Aid yang diberikan secara terus menerus, justru akan merusak mental penerima bantuan. Dimana mereka akan malas dalam berusaha dengan tangan sendiri.
     

Saturday, October 8, 2011

RESENSI ARTIKEL“OVERLEGALIZING HUMAN RIGHTS: INTERNATIONAL RELATIONS THEORY AND THE COMMONWEALTH CARRIBEAN BACKLASH AGAINST HUMAN RIGHTS REGIME”


Dewasa ini, pembahasan tentang Human Rights atau hak asasi menusia telah banyak dilakukan. Negara-negara, baik itu Negara berkembang maupun negara maju, telah mengadopsi konsep hak asasi manusia ini. Banyak yang kemudian meratifikasinya dan memasukkan dalam undang-undang negaranya. Secara umum, hak asasi manusia itu terdiri atas 7 ruang lingkup. Meliputi hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan keturunan, hak mendapatkan keadilan, hak untuk mengembangkan diri, hak kebebasan pribadi, hak untuk mendapatkan rasa aman, hak untuk sejahtera, dan hak untuk turut serta dalam pemerintahan.
Banyaknya ratifikasi hak asasi manusia adalah sebagai jawaban dari semakin meningkatnya pelanggaran terhadap hak asasi manusia tersebut. Tulisan saya ini merupakan hasil resensi dari sebuah artikel (overlegalizing human rights: international relations theory and the commonwealth carribean backlash against human rights regime”) yang membahas mengenai has asasi dari masalah legalisasi hak asasi manusia sampai overlegalisasi hak di negara persemakmuran Karibia. Kemudian, yang menjadi contoh empiris dalam tulisan ini adalah Persemakmuran Karibia. Hal ini dikarenakan, pada tahun 1990-an, Persemakmuran Karibia mengalami perubahan yang signifikan terhadap pandangannya mengenai masalah hak asasi manusia itu sendiri.
Sebenarnya, inti artikel ini menjelaskan begaimana overlegalization mempunyai dampak terhadap Value atau decision making suatu negara dan bagaimana overlegalization itu backlash dengan value yang dimiliki oleh Persemakmuran Karibia. Hal Ini dijelaskan dengan cukup jelas oleh penulis dengan menggunakan perspektif yang berbeda. Ada pun perspektif yang digunakan adalah perspektif dari ideational theory dan liberal theory yang masing dari teori tersebut mempunyai pandangan mengenai perjanjian hak asasi manusia dan pendapat tentang tujuan negara dalam meratifikasi hak asasi manusia dengan aware terhadap konsekuensi dari ratifikasi tersebut. Sebab, pada hakikatnya, meratifikasi suatu perjanjian berarti ancaman terhadap kedaulatan suatu negara.
Pertanyaannya adalah, mengapa masalah human rights yang terjadi di negara persemakmuran Karibia menarik perhatian banyak orang?. Terdapat beberapa alasan yang dibagi atas beberapa level. Pertama, karena apa yang terjadi di negara persemakmuran ini sangat lah mempengaruhi beberapa negara dalam pandangannya terhadap human rights itu sendiri. Perkembangan penghargaan terhadap human rights di wilayah ini sangatlah progressive. Dalam kurun waktu satu decade saja, telah terjadi banyak perubahan dalam pendangannya dan implementasinya terhadap human rights itu sendiri. Level ketiga, karena studi kasus ini non-eropa notabenenya sudag advance dalam pengimplementasian hak asasi manusia  Kasus ini menarik karena terjadi di negara dunia ketiga. Dan terakhir, kasus ini berdasarkan atas dasar data empiris yang menjelaskan secara mendetail bagaimana perubahan pola dalam memandang human rights petitions.
Penulis artikel ini menjelaskan definisi legalize atas 3 bagian. Jadi ketika negara memenuhi bagian ini, negara tersebut telah sepenuhnya melegalisir suatu pakta perjanjian. Yang pertama adalah obligation, yaitu kewajiban atau konsekuensi dari persetujuan terhadap suatu pakta. Inilah yang mengikat antar institusi yang terlibat di dalamnya. Yang kedua adalah precision yaitu penjelasan mendetail tentang isi dari perjanjian itu, yaitu tentang peraturan spesifik dalam suatu pakta atau perjanjian. Dan yang ketiga adalah delegation, yaitu pihak ketika yang menjadi pihak netral yang berfungsi untuk menginterpretasikan dan mengimplementasikan suatu pakta. Dan kadang berfungsi untuk membuat peraturan baru.
Sebelum memasuki inti dari pembahasan, penulis artikel ini terlebih dahulu memberi penjelasan mengenai pandangan realist, ideational, dan liberal mengenai pendapat masing-masing perspektif terhadap perjanjian human rights. Ketig perspektif ini mempunyai pandangan berbeda dalam menjelaskan mengapa negara mencari “masalah” dalam melegalisir perjanjian internasional. Berdasarkan teori realist, negara meratifikasi suatu perjanjian karena adanya paksaan dari negara yang lebih kuat. Menurutnya, semua komitmen dalam perjanjian ini tidak lebih dari refleksi dari power atau kekuatan suatu negara dalam “memaksa” negara maju untuk ikut dalam perjanjian tersebut.
Yang kedua, ideational teori jauh berbeda dengan pendapat realist, menurutnya, perjanjian human rights bukan Cuma ada karena dorongan dari negara sebagai interest sosial politiknya, namun human rights treaty merupakan suatu konsep ideal yang mereka rasakan sehingga ikut meratifikasi perjanjian tersebut. Jadi tidak ada unsur paksaan dalam hal ini. Negara mempersuasif sendiri dirinya terhadap pakta-pakta perjanjian. Dalam memandang hal ini, idealist mengangkat spiral model of human rights, yang terdiri atas fase repression, denial, tactical consession, prescriptive status, rule consistent behavior Liberal menekankan terhadap rasionalitas negara dalam mengejar national interestnya. Menurutnya, negara mengikutkan dirinya kepada pakta hak asasi untuk mengurangi ketidakjelasan atau pun masalah-masalah dalam negerinya. Membahas masalah ini, liberl theory menjelaskan pandangannya terhadap peran dari penggabungan dan pengadilan judicial dalam mempertahankan tuntutan treaty/perjanjian.
Dalam menjelaskan Backlash human rights regime, penulis artikel mendifinisikan overlegalization sebagai akibat dari adanya penambahan level dari legalisasi yang menuntut untuk adanya perubahan dari hukum nasional untuk disandingkan dengam hukum internasional atau perjanjian internasional tentang human rights. Intinya, overlegalization terjadi ketika institusi lain di luar negara bersangkutan menekan negara tersebut untuk memperluas “daerah” perjanjian yang pada awalnya sudah jelas batas-batasnya. Definisi ini dapat dibagi lagi dalam 2 jenis, yaitu overlegalization that changes initial treaty bargains dan overlegalization  that improves enforcement opportunities.
Human rights backlash yang terjadi di negara persemakmuran Karibia terjadi karena adanya benturan yang antara law yang dipercaya oleh negara dengan pressure yang datang dari luar negara yang bersangkutan. Seperti yang kita tahu, negara yang mempunyai banyak pengaruh di kawasan ini adalah Amerika Serikat dan Inggris, dan negara-negara Uni Eropa lainnya, Amerika adalah negara yang menjunjung tinggi hak asasi. Sedangkan Inggris merupakan negara induk dari negara-negera di kawasan ini yang pada dasarnya juga menjunjung tinggi hak asasi. Permasalahan mulai timbul ketika badan hukum internasional menekan negara-negar ini untuk menghapuskan hukuman mati. Perlu diketahui, pada masa ini, hukuman mati sangatlah lazim di negara-negera ini. Tingginya angka kriminalitas mengakibatkan negara memutuskan untuk menerapkan Capital Punishment di negaranya sebagai deterrence effect bagi para criminal lain. Hal ini lah yang menjadi sumber masalah karena salah satu ruang lingkup human rights  adalah hak untuk hidup.
Keadaan social negara-negara bersangkutan menuntut untuk adanya capital punishment di kawasan tersebut. Namun, masalah lain terjadi. Karena badan hukum negara tersebut belum terlalu matang, maka prosedur-prosedur penghukuman sering mengalami masalah. Adanya Death Row Phenomenon. Death Row Phenomenon adalah fenomena yang terjadi karena terlalu banyaknya perpidana yang didakwa hukuman mati sehingga prosedur penghukuman mereka terbengkalai. Banyaknya terpidana mati yang dihadapkan dengan kurang efektifnya proses penghukuman mengakibatkan narapidana yang dihukum biasa harus menunggu belasan tahun untuk menunggu kejelasan nasib hukumannya
Karena dua hal tersebutlah, salah satu narapidana (Earl Pratt) membuat petisi kepada Inter-American Commission untuk meminta bantuan hukum atas kasus yang menimpanya. Kasus ini lah yang terkenal dengan sebutan Pratt Case. Singkat cerita, karena negara lain atau institusi lain sudah bergabung untuk menekan negara karibia ini, maka terjadi perubahan system yang besar-besaran. Yang pertama adalah berkurangnya angka hukuman mati secara signifikan setelah Pratt Cse ini terungkap. Yang kedua adalah negara mebatasi petisi yang sebagai upaya meminta pertolongan dari badan hukum luar oleh narapidana yang akan dihukum mati. Ini adalah salah satu upaya negara agar kasus di negaranya tidak terlalu terekspose. Yang ketiga adalah pengambilan keputusan bukan lagi dari Judisial local, tetapi ada campur tangan badan kehakiman lain dalam memutuskan perkara hukuman mati. Hal ini dilakukan karena lembaga hukum di sana sudah dianggap tidak kredibel lagi. Yang terakhir, lembaga khusus, Privy Council berkurang otoritasnya. Karena adanya anggapan bahwa Council ini merupakan warisan kolonialisame. Perlu diketahui, Privy Council merupakan penasihat dari pemimpin negara-negera di kawasan tersebut. Secara tidak langsung, sebenarnya Privy Counsil memiliki otoritas tersendiri


Saturday, April 9, 2011

Kartel , Industri, dan Kelompok Kepentingan

Kartel , Industri, dan Kelompok Kepentingan
Kartel
Kartel merupakan suatu kelompok produser atau konsumen, atau keduanya terhadap suatu produk tertentu. Dibentuk dengan tujuan untuk memanipulasi harga dalam pasar internasional. Kartel bisa dibilang sesuatu yang tidak biasa namun sangat menarik di perdagangan internasional. Kebanyakan kartel itu terbentuk dari kumpulan produsen daripada kumpulan konsumen. Karena biasanya konsumen itu ada banyak, sedangkan produsen itu hanya sedikit. Karena jumlah produsen yang sedikit, hal ini memungkinkan mereka untuk mengkordinasi dan menetapkan harga agar tetap daam harga yang tinggi. Dalam kartel, terdapat banyak cara untuk mempengaruhi harga. Cara yang paling efektif adalah dengan mengkordinasikan jumlah atau kuota dari setiap anggota untuk menekan serendah mungkin jumlah barang yang di produksi agar terjadi scarcity. Hal ini sesuai dengan prinsip ekonomi yang akan dijelaskan secara mendalam pada bagian lain.
Kartel dalam pasar global yang paling dikenal adalah Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC). Bergerak dalam bidang produksi bahan bakar minyak mentah yang nantinya akan dilempar ke pasar internasional. Anggota dari OPEC ini bekerjasama dalam mengontrol ratusan milyar dollar dalam ekspor minyak pertahun – sekitar 40 persen dari jumlah total produksi dunia dan secara signifikan cukup untuk mempengaruhi harga pasar. Jadi mereka tidak perlu melakukan monopoli untuk mempengaruhi harga. Pada tahun 1970, harga minyak mentah meroket. Tentu pada saat itu OPEC untung besar. Termasuk Indonesia(pada waktu itu Indonesia mash tergabung dalam OPEC dan dengan keuntungan yang diperolahnya, pembangunan di Indonesia tumbuh dengan cepat). OPEC berkedudukan di Vienna, Austria. OPEC mengadakan pertemuan bebrapa kali dalam setahun. Ini bertujuan untuk melakukan konsolidasi tentang target yang ingin dicapai melalui kontrol harga tadi. Yang paling berpengauh di sini adalah Saudi Arabia. Mempertimbangkan bahwa Saudi Arabia merupakan ekportir minyak mentah terbesar di dunia, maka tidak heran jika negara ini yang berperan penting dalam kartel minyak mentah ini.
Kuota tentang berapa jumlah produksi minyak yang dapat diproduksi oleh anggota OPEC sendiri sudah ditentukan sebelumnya. Namun dalam prosesnya, terkadang ada saja anggota yang melanggar kuota ini. Terkadang anggota yang “nakal” ini memproduksi minyak mentah melebihi kuota yang telah diberikan. Sesuai dengan prinsip ekonomi, barang yang jumlahnya banyak tersedia dipasar tentu akan murah harganya. Tentu tindakan ini merugikan anggota-anggota lain. Nah, jika hanya satu negara yang melakukan tindakan curang ini, OPEC menanganinya dengan cara mengurangi jumlah produksi minyak mentah dengan tujuan untuk menjaga over produksi barang tersebut. Namun, jika terdapat banyak anggota yang melakukan pelanggaran ini, maka OPEC membanjiri pasaran dengan produksi minyah mentah. Dengan kata lain memberikan sanksi dengan membiarkan overproduksi terjadi dan menyetir turun harga dengan harga terendah. Dengan begini, tentu anggota yang melakukan pelanggaran akan rugi. Hal ini akan dilakukan sampai anggota kembali mematuhi aturan yang telah disepakati sebelumnya.
Konsumen biasanya tidak membentuk kartel. Tapi sebgai respon terhadap OPEC, negara mayoritas pengimpor minyak ( negera G-8)membentuk organisasi mereka sendiri. Internastional Energy Agency ( IEA) yang mempunyai fungsi kurang lebih sama dengan kartel. Berbeda dengan kartel produsen, kartel konsumen menginginkan harga minyak berapa pada kisaran harga yang rendah dan stabil. Secara general, kartel dapat disebut sebagai tandingan dari Free Market dimana kartel sendiri itu merubah komposisi free market itu demi meningkatkan efisiensi. Hal ini dilakukan dengan pertimbagan bahwa harga dalam free market terlalu fluktuatif dan susah diprediksi. Dalam kenyataannya, kartel sendiri tidak mempunyai power yang besar dalam menetukan harga. Hal ini dikarenakan adanya barang pengganti (subtitute) jika suatu barang susah untuk didapatkan. Pengecualiannya adalah OPEC itu sendiri. Mempertimbangkan bahwa minyak itu langka dan tidak dapat diproduksi secara bebas.
Industri dan Kelompok Kepentingan
Industri dan kelompok kepentingan seringkali berusaha untuk mendapatkan pengaruh dalam perumusan atau pembuatan suatu regulasi perdagangan dalam suatu negara. Pengaruh ini tidak selamanya digunakan untuk menekan pemerintah melakukan proteksionisme, tergantung dari kekuatan industri tersebut. Industri maju lebih lebih menekan pemerintah untuk memberlakukan aturan Free Trade. Namun bagi indutri yang tertinggal, mereka cenderung lebih menekan pemerintah untuk memberlakukan larangan impor atau bentuk lain dari jenis proteksionisme. Sebagai contoh adalah North American Free Trade Agreement (NAFTA), ada yang mendukung, ada pula yang menentang organisasi ini. Industri ini pun mempengaruhi regulasi perekonomian melalui jalan menyogok, membentuk kelompok kepentingan, dll
Sebagai contoh bagaimana kelompk kepentingan atau industri ini dapat mempengaruhi kebijakan suatu negara dapat kita lihat atas apa yang terjadi di Amerika pada tahun 1980-an. Pada tahun tersebut, industri rokok mengalami kemunduran yang signifikan yang diakibatkan oleh pendidikan tentang bahaya rokok. Karena industri rokok ini merasa tidak dapat memasarkan produknya dalam negeri, mereka berusaha untuk memasarkan produknya di luar negeri. Mereka memasarkan produk mereka dengan cara menetang pembatasan pembatasan iklan rokok di negara lain. U.S. Tobacco bekerjasama dengan pemerintah menekan pihak lain (dalam hal ini negara lain), untuk membuka pasarnya untuk produk rokok Amerika. Sebagai hasilnya, Philip Morris pemilik merk roko kenamaan dapat menguasai pasar rokok di Turki.
Ada beberapa sektor dalam perdagangan yang sarat akan negosiasi dari kelompok kepentingan. Sektor yang pertama adalah sektor garmen dan tekstil. Pada tahun 2005, kuota tekstil dunia jatuh sebelum pembahasan WTO deals. Pada saat yang bersamaan, China mendominasi pasar dunia dengan produksi tekstilnya. Memang, pada saat itu China spesialisasi dalam satu jenis garment yang diproduksi secara massal. Tidak heran jika harga jual hasil produksi tersebut murah. Kemudian, pada tahun 2005, Uni Eropa dan Amerika masing-masing melakukan perjanjian bilateral dengan China untuk mengurangi jumlah kuota produksinya Sektor terpenting kedua adalah sektor sandang dan pangan yang dari dahulu diberlakukan proteksionisme untuk sektor yang satu ini. Alasannya adalah saktor agrikultur adalah sektor yang amat vital, berhubungan langsung dengan keberlangsungan suatu negara. Karena itu, di Jepang, Perancis, dan Amerika, partai-partai buruh atau petani mempunyai pengaruh yang kuat dalam percaturan politiknya. Ketiga adalah hak kekayaan intelektual. Hak kekayaan intelektual adalah hak dari pencipta film, buku, film, atau apa pun yang diciptakan untuk mendapatkan royalty dari setiap penjualan hasil ciptaannya. Kelompok kepentingan hadir dalam masalah ini dalam menanggapi pembajakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Sebagai contoh, terdapat suatu produsen film di Amerika serikat. Hasil ciptaan produsen di Amerika di bajak oleh salah satu pihak yang ada di China. Pihak produsen Amerika atau pun pemerintah Amerika sendiri tidak mempunyai hak untuk memberi sanksi kepada pihak produsen di China yang telah membajak karya mereka. Karena hukum di China diluar otoritas pemerintah Amerika sendiri. Oleh karena itu, Amerika atau pihak produsen Amerika melakukan loby untuk menekan pemerintah China memberlakukan sanksi kepada pihak yang tidak bertanggung jawab tersebut. Yang keempat adalah sektor servis dalam ekonomi. Sektor ini terdiri atas banyak pelayanan, terutama pelayanan dalam bidang informasi. Tapi yang menjadi isu utama dalam sektor pelayanan ini adalah sektor perbankan, asuransi, dan pendanaan. Dan yang kelima adalah sektor perdagangn senjata. Sektor ini sangat sensitif karena berefek terhadap keamanan nasional.
Tanggapan
Dalam imu ekonomi, dikenal istilah supply dan demand. Suply adalah jumlah jumlah penawaran yang ditawarkan oleh produsen. Demand merupakan kebutuhan atau jumlah barang yag diminta oleh konsumen. Penawaran dan permintaan ini lah yang akan membentuk harga pasar. Harga pasar yang di setujui oleh produsen dan konsumen biasa disebut sebagai titik equilibrium. Di satu sisi, produsen menginginkan harga barang yang diproduksi dapat mencapai harga maksimal, namun di sisi lain, konsumen berusaha untuk membeli barang tersebut dengan harga termurah. Pertemuan antara keinginan produsen dan konsumen ini lah yang membentuk equilibrium terhadap harga suatu barang. Nah, kartel hadir dengan tujuan untuk mempengaruhi harga pasar. Hukum ekonomi mengenai titik equlibrium tidak dijumpai dalam kartel ini. Karena, perlu diingat, jika suatu jenis barang sedikit jumlahnya di pasar, sedangkan permintaan terhadap barang tersebut banyak, maka akan produsen dapat menentukan harga pasar dari barang tersebut. Jadi tidak ada mekanisme yang membuat harga barang tersebut berada pada titik equilibrium. Apalagi jika barang tersebut merupakan barang yang tidak memiliki subsitusi, seperti minyak bumi.
Dalam OPEC misalnya, jika harga yang ditetapkan oleh OPEC sebelumnya dihadapkan oleh kelompok G-8, tentu berbeda kondisinya jika harga yang ditetapkan dihadapkan dengan konsumsi negara-negara berkembang. Negara G-8 (dikenal sebagai negara pengimpor minyak ) tentu mempunyai feedback terhadap harga tesebut, berdasar atas pertimbangan jumlah dana dan kemampuan yang dimiliki negara-negara G-8 tersebut. Namun, jika harga ini dihadapkan kepada negara-negara berkembang, tentu hal ini merupakan suatu masalah besar.
Dalam menghadapi OPEC, negara-negara G-8 membentuk organisasi IEA (International Energy Agency) sebagai tandingan dari OPEC tadi. IEA tentu menginginkan harga yang rendah dan stabil.

Wednesday, March 16, 2011

Proteksionisme dan Tanggapannya

Proteksionisme

Walaupun beberapa negara mengejar strategi dari autarki, terdapat beberapa negara mencoba untuk memanipulasi perdagangan internasional untuk menguatkan domestik industrinya dari pasar global. Regulasi ini biasa disebut dengan Proteksionisme. Hal ini meliputi berbagai macam aturan dengan berbagai macam tujuan. Semua regulasi tersebut kontras dengan paham liberalisme yang menginginkan tidak adanya halangan dalam perdagangan internasional. Proteksionisme mengubah sedimikian rupa Free Market agar tidak merugikan negara yang menjadi pelakunya. Secara umum, proteksionisme menekan impor dan meng-encourage negara untuk memperbesar ekspor.

Motivasi negara untuk melakukan proteksionisme pada industri domestik muncul karena berbagai hal. Terkdang pemerintah melakukan hal tersebut untuk melindungi industri domestik yang baru berkembang. Mereka akan melakukan hal tersebut sampai industri domestik tersebut bisa berkompetisi di global market. Sebagai contoh Korea Selatan. Ketika Korea Selatan pertama kali membuka industri otomotif, industri tersebut belum bisa bersaing dengan pasar dunia. Jadi pemerintah memberikan semacam subsidi terhadap produk otomotif tadi. Dengan tujuan penduduk akan lebih memilih produk dalam negeri karena lebih murah. Sehingga industri dalam negeri itu bisa berkembang.

Tujuan lain pemerintah memberlakukan proteksionisme adalah memberi ruang untuk bernapas industri domestik ketika kondisi pasar berubah atau ketika adanya kompetitor baru di pasar dalam negeri. Proteksionis ini memberi waktu kepada industri dalam negeri untuk beradaptasi dengan lingkungan pasar yang berubah. Sebagai contoh, ketika terjadi kenaikan harga bahan bakar secara drastis di tahun 1970, masyarakat Amerika pada saat itu lebih memilih mobil kecil(dengan tujuan menghemat pengunaan BBM). Karena itu, Jepnag yang memproduksi jenis mobil tersebut merajai pasar di Amerika pada masa itu. Untuk melindungi industri otomotif domestiknya, Amerika melakukan proteksionis dengan cara memberi kouta terhadap jumlah mobil yng dikirimkan ke Amerika.

Proteksionis mungkin bertujuan sebagai tindakan pertahanan diri dari perusahan non-domestik atau dari negara lain. Di atas tadi sudah dijleaskan tentang berbagai macam motivasi pemerintah dalam melakukan proteksionisme. Maka, ada pun cara yang digunakan pemerintah adalah. Pertama, Yang paling simple adalah tarif atau kewajiban. Yaitu harga beban yang harus dibayar ketika suatu barang memasuki negara lain. Biasanya dihitung berdasarkan persentase harganya. Jika suatu negara memang ingin melakukan proteksionisme, negara menggunakan cara ini. Karena cara ini langsung dan tidak tersembunyi. Kedua, adaalah penggunaan kuota. Pada penjelasan sebelumnya, telah dijabarkan bagaimana Amerika melakukan kuota terhadap mobil-mobil impor dari Jepang. Kuota menerapkan batas berapa banyak barang yang dapat diimpor. Ketiga, adalah pemberian subsidi. Subsidi dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Salah satunya adalah Tax Break. Yaitu pembebasan suatu produk terhadap suatu jenis pajak, sehingga harga produksinya dapat ditekan dan menghasulkan produk yang affordable. Terkadang, pemerintah membeli produk dari industri domestik kemudian menjualnya dengan harga yang lebih murah ke global market. Hal in dilakukan Uni Eropa dan Amerika dalam produk agrikultur-nya. Dan terakhir, dengan membuat pelarangan atau regulasi yang kuat untuk suatu produk tertentu. Hal ini akan membuat import akan menjadi susah dan meng-impose produk yang datang dari luar negeri.

Tanggapan..

Dari penjelasan di atas, dapat saya simpulkan bahwa tindakan proteksionisme sangat cocok bagi negara berkembang atau negara yang baru memulai industrialisasi. Proteksi ini memberikan waktu bagi industri domestik untuk beradaptasi dengan lingkungan persaingan global. Tindakan proteksi mempunyai kelebihan dan keburukan. Salah satu keburukannya adalah tidak adanya inovasi pada industri domestik. Tindakan proteksi ini sebenarnya adalah tindakan untuk memanjakan industri domestik jika tidak dikolola dengan baik. Dikelola dengan baik engandung pengertian bahwa ketika pemerintah telah melihat suatu perusahaan atau industri sudah cukup kuat, pemerintah seyogyanya melempar industri tersebut ke pasar global agak dapat bersaing secara sehat. Jika terlalu lama dimanja, akan menciptakan inefficiency dan kurangnya inovasi di industri domestik tersebut.

`Jika dibandingkan dengan kondisi kekinian, maka tindakan proteksionis sudah tidak cocok lagi. Sebab, perekonomian dunia sudah berubah. Dituhkan kerjasama perdagangan antar negara agar negara-negara tersebut dapat memenuhi kebutuhannya. Hal ini sejalan dengan dengan teori Absolute Advantage dan Comparative Advantage yang dikemukakan oleh Adm Smith dan David Ricardo. Menurut mereka, terdapat keuntungan yang dimiliki jika tidak menggunakan tindakan proteksionis menurut teori mereka. Yaitu dapat memperoleh barang dan jasa yang belum diproduksi di dalam negeri, mendapatkan manfaat dari spesialisasi dalam bentuk keuntungan mutlak dan keuntungan absolut, meningkatkan produkstivitas dan efisiensi produk berdasarkan skala ekonomis proses produksi, terjadi peningkatan teknologi melalui persaingan sehat, dll.

Namun ironi, seyogyanya tindakan proteksionis ini dilakukan oleh negara berkembang, tapi tindakan ini lebih banyak digunakan oleh negara maju untuk mendapatkan hasilnya yang berlipat. Melalui lembaga-lembaga keuangan yang mereka punya, mereka memaksakan tidak adanya tindakan proteksionis, namun mereka sendiri yang memproteksi pasar mereka. Semula tindakan proteksionis yang dikira telah ditinggal namun muncul dengan jenis proteksionis baru yang biasa disebut dengan Neo-merkantilisme.

Walaupun negara maju menggunakan sistem pasar bebas, mereka tetap juga menggunakan kebijakan proteksionisme pada pasarnya. Jadi terkesan bahwa proteksionisme yang dilakukan oleh negara maju adalah proteksionisme yang dilakukan dengan tujuan untuk memperkaya negaranya dengan cara membuat miskin negara lain. Istilahnya beggar-thy-neighbor policies (meningkatkan kesejahteraan domestik dengan memiskinkan negara tetangga). Mengapa demikian? Sebab Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, mengalami dua tekanan sekaligus. Yaitu, pertama susahnya mendapatkan bahan baku industri yang harus di impor dari negara berkembang. Seperti yang kita ketahui, di negara berkembang mereka lebih mengutamakan kebutuhan dalam negerinya dari pada orientasi ekspor. Oleh karena itu, industri domestik susah berkembang karena kurangan bahan baku atau pun karena bahan bakunya terlalu mahal. Kedua, negara maju melakukan tindakan proteksionisme terhadap pasarnya. Hal ini menyulitkan hasil produksi negara berkembang untuk masuk ke dalam pasar negara tersebut. Padahal, negara maju bisa dengan leluasa mengekspor hasil produknya ke pasar negara maju. Ironi...