Saturday, October 8, 2011

RESENSI ARTIKEL“OVERLEGALIZING HUMAN RIGHTS: INTERNATIONAL RELATIONS THEORY AND THE COMMONWEALTH CARRIBEAN BACKLASH AGAINST HUMAN RIGHTS REGIME”


Dewasa ini, pembahasan tentang Human Rights atau hak asasi menusia telah banyak dilakukan. Negara-negara, baik itu Negara berkembang maupun negara maju, telah mengadopsi konsep hak asasi manusia ini. Banyak yang kemudian meratifikasinya dan memasukkan dalam undang-undang negaranya. Secara umum, hak asasi manusia itu terdiri atas 7 ruang lingkup. Meliputi hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan keturunan, hak mendapatkan keadilan, hak untuk mengembangkan diri, hak kebebasan pribadi, hak untuk mendapatkan rasa aman, hak untuk sejahtera, dan hak untuk turut serta dalam pemerintahan.
Banyaknya ratifikasi hak asasi manusia adalah sebagai jawaban dari semakin meningkatnya pelanggaran terhadap hak asasi manusia tersebut. Tulisan saya ini merupakan hasil resensi dari sebuah artikel (overlegalizing human rights: international relations theory and the commonwealth carribean backlash against human rights regime”) yang membahas mengenai has asasi dari masalah legalisasi hak asasi manusia sampai overlegalisasi hak di negara persemakmuran Karibia. Kemudian, yang menjadi contoh empiris dalam tulisan ini adalah Persemakmuran Karibia. Hal ini dikarenakan, pada tahun 1990-an, Persemakmuran Karibia mengalami perubahan yang signifikan terhadap pandangannya mengenai masalah hak asasi manusia itu sendiri.
Sebenarnya, inti artikel ini menjelaskan begaimana overlegalization mempunyai dampak terhadap Value atau decision making suatu negara dan bagaimana overlegalization itu backlash dengan value yang dimiliki oleh Persemakmuran Karibia. Hal Ini dijelaskan dengan cukup jelas oleh penulis dengan menggunakan perspektif yang berbeda. Ada pun perspektif yang digunakan adalah perspektif dari ideational theory dan liberal theory yang masing dari teori tersebut mempunyai pandangan mengenai perjanjian hak asasi manusia dan pendapat tentang tujuan negara dalam meratifikasi hak asasi manusia dengan aware terhadap konsekuensi dari ratifikasi tersebut. Sebab, pada hakikatnya, meratifikasi suatu perjanjian berarti ancaman terhadap kedaulatan suatu negara.
Pertanyaannya adalah, mengapa masalah human rights yang terjadi di negara persemakmuran Karibia menarik perhatian banyak orang?. Terdapat beberapa alasan yang dibagi atas beberapa level. Pertama, karena apa yang terjadi di negara persemakmuran ini sangat lah mempengaruhi beberapa negara dalam pandangannya terhadap human rights itu sendiri. Perkembangan penghargaan terhadap human rights di wilayah ini sangatlah progressive. Dalam kurun waktu satu decade saja, telah terjadi banyak perubahan dalam pendangannya dan implementasinya terhadap human rights itu sendiri. Level ketiga, karena studi kasus ini non-eropa notabenenya sudag advance dalam pengimplementasian hak asasi manusia  Kasus ini menarik karena terjadi di negara dunia ketiga. Dan terakhir, kasus ini berdasarkan atas dasar data empiris yang menjelaskan secara mendetail bagaimana perubahan pola dalam memandang human rights petitions.
Penulis artikel ini menjelaskan definisi legalize atas 3 bagian. Jadi ketika negara memenuhi bagian ini, negara tersebut telah sepenuhnya melegalisir suatu pakta perjanjian. Yang pertama adalah obligation, yaitu kewajiban atau konsekuensi dari persetujuan terhadap suatu pakta. Inilah yang mengikat antar institusi yang terlibat di dalamnya. Yang kedua adalah precision yaitu penjelasan mendetail tentang isi dari perjanjian itu, yaitu tentang peraturan spesifik dalam suatu pakta atau perjanjian. Dan yang ketiga adalah delegation, yaitu pihak ketika yang menjadi pihak netral yang berfungsi untuk menginterpretasikan dan mengimplementasikan suatu pakta. Dan kadang berfungsi untuk membuat peraturan baru.
Sebelum memasuki inti dari pembahasan, penulis artikel ini terlebih dahulu memberi penjelasan mengenai pandangan realist, ideational, dan liberal mengenai pendapat masing-masing perspektif terhadap perjanjian human rights. Ketig perspektif ini mempunyai pandangan berbeda dalam menjelaskan mengapa negara mencari “masalah” dalam melegalisir perjanjian internasional. Berdasarkan teori realist, negara meratifikasi suatu perjanjian karena adanya paksaan dari negara yang lebih kuat. Menurutnya, semua komitmen dalam perjanjian ini tidak lebih dari refleksi dari power atau kekuatan suatu negara dalam “memaksa” negara maju untuk ikut dalam perjanjian tersebut.
Yang kedua, ideational teori jauh berbeda dengan pendapat realist, menurutnya, perjanjian human rights bukan Cuma ada karena dorongan dari negara sebagai interest sosial politiknya, namun human rights treaty merupakan suatu konsep ideal yang mereka rasakan sehingga ikut meratifikasi perjanjian tersebut. Jadi tidak ada unsur paksaan dalam hal ini. Negara mempersuasif sendiri dirinya terhadap pakta-pakta perjanjian. Dalam memandang hal ini, idealist mengangkat spiral model of human rights, yang terdiri atas fase repression, denial, tactical consession, prescriptive status, rule consistent behavior Liberal menekankan terhadap rasionalitas negara dalam mengejar national interestnya. Menurutnya, negara mengikutkan dirinya kepada pakta hak asasi untuk mengurangi ketidakjelasan atau pun masalah-masalah dalam negerinya. Membahas masalah ini, liberl theory menjelaskan pandangannya terhadap peran dari penggabungan dan pengadilan judicial dalam mempertahankan tuntutan treaty/perjanjian.
Dalam menjelaskan Backlash human rights regime, penulis artikel mendifinisikan overlegalization sebagai akibat dari adanya penambahan level dari legalisasi yang menuntut untuk adanya perubahan dari hukum nasional untuk disandingkan dengam hukum internasional atau perjanjian internasional tentang human rights. Intinya, overlegalization terjadi ketika institusi lain di luar negara bersangkutan menekan negara tersebut untuk memperluas “daerah” perjanjian yang pada awalnya sudah jelas batas-batasnya. Definisi ini dapat dibagi lagi dalam 2 jenis, yaitu overlegalization that changes initial treaty bargains dan overlegalization  that improves enforcement opportunities.
Human rights backlash yang terjadi di negara persemakmuran Karibia terjadi karena adanya benturan yang antara law yang dipercaya oleh negara dengan pressure yang datang dari luar negara yang bersangkutan. Seperti yang kita tahu, negara yang mempunyai banyak pengaruh di kawasan ini adalah Amerika Serikat dan Inggris, dan negara-negara Uni Eropa lainnya, Amerika adalah negara yang menjunjung tinggi hak asasi. Sedangkan Inggris merupakan negara induk dari negara-negera di kawasan ini yang pada dasarnya juga menjunjung tinggi hak asasi. Permasalahan mulai timbul ketika badan hukum internasional menekan negara-negar ini untuk menghapuskan hukuman mati. Perlu diketahui, pada masa ini, hukuman mati sangatlah lazim di negara-negera ini. Tingginya angka kriminalitas mengakibatkan negara memutuskan untuk menerapkan Capital Punishment di negaranya sebagai deterrence effect bagi para criminal lain. Hal ini lah yang menjadi sumber masalah karena salah satu ruang lingkup human rights  adalah hak untuk hidup.
Keadaan social negara-negara bersangkutan menuntut untuk adanya capital punishment di kawasan tersebut. Namun, masalah lain terjadi. Karena badan hukum negara tersebut belum terlalu matang, maka prosedur-prosedur penghukuman sering mengalami masalah. Adanya Death Row Phenomenon. Death Row Phenomenon adalah fenomena yang terjadi karena terlalu banyaknya perpidana yang didakwa hukuman mati sehingga prosedur penghukuman mereka terbengkalai. Banyaknya terpidana mati yang dihadapkan dengan kurang efektifnya proses penghukuman mengakibatkan narapidana yang dihukum biasa harus menunggu belasan tahun untuk menunggu kejelasan nasib hukumannya
Karena dua hal tersebutlah, salah satu narapidana (Earl Pratt) membuat petisi kepada Inter-American Commission untuk meminta bantuan hukum atas kasus yang menimpanya. Kasus ini lah yang terkenal dengan sebutan Pratt Case. Singkat cerita, karena negara lain atau institusi lain sudah bergabung untuk menekan negara karibia ini, maka terjadi perubahan system yang besar-besaran. Yang pertama adalah berkurangnya angka hukuman mati secara signifikan setelah Pratt Cse ini terungkap. Yang kedua adalah negara mebatasi petisi yang sebagai upaya meminta pertolongan dari badan hukum luar oleh narapidana yang akan dihukum mati. Ini adalah salah satu upaya negara agar kasus di negaranya tidak terlalu terekspose. Yang ketiga adalah pengambilan keputusan bukan lagi dari Judisial local, tetapi ada campur tangan badan kehakiman lain dalam memutuskan perkara hukuman mati. Hal ini dilakukan karena lembaga hukum di sana sudah dianggap tidak kredibel lagi. Yang terakhir, lembaga khusus, Privy Council berkurang otoritasnya. Karena adanya anggapan bahwa Council ini merupakan warisan kolonialisame. Perlu diketahui, Privy Council merupakan penasihat dari pemimpin negara-negera di kawasan tersebut. Secara tidak langsung, sebenarnya Privy Counsil memiliki otoritas tersendiri


No comments:

Post a Comment