Saturday, May 12, 2012

"Biar Belanda Yang Menyimpan Sejarah Kami"


          Setahun lalu pada tanggal 21 Apri2011, seorang sutradara ternama asal Amerika mengunjungi Makassar dalam rangka mementaskan sebuah drama epos yang diadaptasi dari sebuah karya sastra  Bugis-Makassar yang dikenal dengan nama Sureq I La Galigo (Manuskrip I La Galigo). Sebagai Duta Pariwisata Makassar, penulis terlibat dalam menyiapkan penyambutan informal sebelum acara ini dimulai. Menjelang dimulainya pementasan I La Galigo, kota Makassar dengan penuh antusias memberikan apresiasi di setiap media cetak atau pun media elektronik. Seluruh elemen beramai-ramai membicarakan pementasan drama karya sastra yang dianggap tidak kalah menarik dengan kisah Mahabarata atau pun kisah Ramayana yang telah lebih dahulu dikenal oleh masyarakat luas.


Manuskrip asli I La Galigo
          Pementasan I La Galigo ini menjadi topik pembicaraan yang hangat. Hal tersebut disebabkan banyaknya pihak yang tidak menyangka pementasan drama adaptasi ini digarap oleh seorang sutradara asal Amerika Serikat. Ternyata pementasan drama adaptasi ini sudah ditampilkan di lima benua. Sebelumnya, pementasan karya teater, tari dan musik I La GaLigo pertama kali digelar pada tahun 2003 di Singapura, kemudian berlanjut di kota-kota besar dunia, seperti Amsterdam, Madrid, Lyon, Barcelona, Ravenna, New York, Melbourne, Milan dan Taipei sepanjang tahun 2003-2008. Makassar merupakan tempat terakhir dimana drama ini dipentaskan. Oleh karena itu, banyak yang berpendapat bahwa “I La Galigo telah kembali ke tanah asalnya”. Setelah 7 tahun keliling dunia, akhirnya I La Galigo dapat dipentaskan di tanah tempat karya besar ini dilahirkan.


          Memang, Robert Wilson lah yang berjasa dalam memperkenalkan karya sastra Sureq Galigo ini. Namun, jika kita melihat kebelakang, terdapat orang yang sangat berjasa dalam penyusunan karya ini. Beliau adalah seorang pria berkebangsaan Belanda yang bernama Benjamin Frederik Matthes. Menurut informasi yang ada, sejarah tersusunnya Sureq ini dalam satu buku berawal ketika Arung Pancana, seorang sastrawan pada tahun 1880-an,  menyusun 12 naskah yang membentuk Sureq Galigo . Yang menjadi masalah adalah terdapat bagian dari karya tulis ini yang belum dinaskahkan. Sebagian dari cerita dalam Sureq La Galigo ini tersebar dari mulut ke mulut dalam masyarakat Bugis-Makassar. Belum dalam bentuk tertulis sepenuhnya. Kemudian, pada tahun 1847 pemerintah Belanda mengutus Benjamin Frederik Matthes untuk mendokumentasikan karya sastra ini secara keseluruhan. Dari sinilah cerita kebesaran I La Galigo memulai perjalanannya.


          Naskah asli Sureq I La Galigo ini disimpan di Museum Universitas Leiden di Belanda. Sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan, termasuk penulis, menyayangkan mengapa karya besar seperti ini justru ada di negera lain. Menyayangkan mengapa karya tersebut tidak disimpan saja di museum Benteng Rotterdam yang ada di Makassar, misalnya.

Setelah direnungkan kembali, memang sebaiknya karya besar tersebut berada di Belanda. Kondisi masyarakat atau pun pemerintah Makassar sendiri belum bisa untuk merawat karya besar ini. Penulis menyaksikan sendiri betapa banyaknya situs-situs sejarah Kota Makassar yang rusak karena tidak terawat. Ini mengindikasikan bahwa masyarakat Makassar pada umumnya belum sadar akan pentingnya menjaga warisan budaya lokal. Berbeda dengan Belanda. Belanda sangat concern terhadap masalah warisan budaya dunia dan sangat apik menjaga warisan budaya dunia tersebut. Buktinya, sampai sekarang naskah Galigo itu sendiri masih terawatt dengan baik di Museum Universitas Leiden.

          Penulis pun mengagumi Belanda dalam sikapnya terhadap warisan budaya. Penulis bukan pesimis terhadap sikap masyarakatnya sendiri dalam menyikapi masalah warisan budaya. Penulis pun menginginkan naskah asli I La Galigo ini dapat kembali ke tempat asalnya, Makassar. Namun setelah Makassar siap tentunya. Maka dari itu, untuk saat ini, biarlah Belanda yang menyimpan sejarah kami:).