Wednesday, December 21, 2011

“Ketika Bantuan Justru Lebih Menjerumuskan” (Studi Kasus Afrika)

     Dalam MDG (Millenium Development Goal), usaha untuk melawan poverty menjadi urutan pertama. Poverty disadari merupakan problem besar yang harus dihadapi dunia sekarang ini. Dalam jenisnya, poverty dibagi atas 3, yaitu relative poverty, moderat poverty, dan extreme poverty. Jenis poverty yang ada di Afrika adalah extreme poverty dimana penduduk sama sekali tidak mempunyai apa-apa untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Ini lah yang kemudian menjadi perhatian bagi negara-negara maju untuk membantu Afrika untuk keluar dalam kondisi extreme poverty ini.
      Salah satu cara yang dilakukan oleh negara-negara maju untuk mengatasi masalah di Afrika adalah dengan membentuk ODA (Official Development Assistance) yang memberikan bantuan secara berkala di negara-negara Afrika. Besar bantuan yang diberikan adalah 0.7 % dari jumlah GNP dari negara-negara anggota ODA. Mekanisme bantuannya adalah dengan cara mengumpulkan persenan bantuan yang disisihkan oleh negara  ODA yang kemudian didistribusikan langsung ke negara-negara Afrika. Bantuan ini dapat berupa technical assistance atau fresh money. Technical assistance lebih focus bagaimana membangun infrastruktur di negara-negara Afrika. Sedangkan fresh money lebih memberikan burden kepada negara penerima untuk mengelola Aid tersebut. Banyak yang sangsi terhadap keefektifan bantuan dalam bentuk Fresh Money. Mengingat keadaan di Afrika yang “tidak siap” untuk menerima Aid ini. Tetapi secara keseluruhan yang akan menjadi perdebatan adalah apakah memberikan Aid itu efektif?
      Terdapat 2 perdebatan besar mengenai masalah Aid di Afrika, yaitu Kubu pro dan kontra bantuan untuk melepaskan Afrika dari jeratan extreme poverty dengan bantuan (Aid). Aid yang akan dijelaskan di sini adalah Aid murni, yaitu bantuan yang diberikan tanpa adanya syarat-syarat diberikannya Aid tersebut. Aid ini pun diberikan secara cuma-cuma tanpa harus dikembalikan kepada negara-negara donor. Alasan negara pendonor dalam memberikan bantuan ini berdasar pada rasa prihatin terhadap negara-negara Afrika. Dimana, katanya, mereka memiliki tanggung jawab moral dalam mengatasi masalah di Afrika.
      Masalah extreme poverty yang ada di Afrika berbeda dengan apa yang ada di region lain. Itulah sebabnya, menurut kubu yang yang pro terhadap Aid, perlu adanya perlakuan khusus untuk kasus yang ada di Afrika. Contoh konkretnya adalah apa yang terjadi di negara-negara Asia. Pada dekade 70-an sampai dengan 80-an, banyak negara-negara di Asia yang juga termasuk kategori dalam katogeri extreme poverty. Namun dengan kebijakan yang diambil, negara-negara di Asia ini bisa bergerak keluar dari lingkaran extreme poverty ini. Menurut kubu pro, hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan kondisi lingkungan yang sangat ekstrem. Pada decade 70-80, salah satu cara yang dilakukan oleh negara-negara Asia untuk keluar dari lingkaran extreme poverty adaah dengan mengaplikasikan konsep Green Revolution di negaranya. Afrika tidak memiliki dan tidak dapat melaksanakan Green Rovolution. Mengapa? Karena Green Revolution memerlukan banyak hal. Salah satunya adalah irigasi. Bagaimana mungkin Green Revolusi di adakan di Afrika jika di sana menemukan air pun sulit? 96 % dari produk pertanian Afrika adalah hasil pertanian tadah hujan.
      Alasan Kedua, yang dikatankan oleh kubu pro yang digawangi oleh Jeffrey Sachs dengan bukunya “The End of Poverty” mengatakan bahwa Afrika adalah negara yang terisolasi secara ekonomi. Daerah-daerah pusat perdagangan mereka jauh dari laut. Mereka membangun pusat perdagangan jauh dari pelabuhan sekali lagi karena faktor lingkungan. Orang Afrika sedikit yang tinggal di wilayah pesisir karena wilayah pesisir di sana panas dan kering. Mereka lebih memilih tinggal di dataran yang agak tinggi seperti di dataran tinggi Ethiopia, Rwanda, atau Burundi. Masalahnya adalah bagaimana bisa orang-orang yang tinggal di daerah tersebut malakukan perdagangan jika jarak antara pelabuhan dan pusat perdagangannya terlalu jauh. “Itu lah alasan mengapa Afrika harus dibantu”, menurut kubu pro.
      Nah, di sini lah masalahnya. Yang ingin saya jelaskan di sini adalah bagaimana bantuan (Aid) itu jutsru lebih menjerumuskan Afrika ke dalam lembah kemiskinan. Saya akan menjelaskan bagaimana jika suatu negara di beri Aid secara terus menerus justru akan membuat negara tersebut tambah tergantung. Di sini dapat diambil pelajaran bahwa Aid justru lebih menjerumuskan jika diberi secara terus-menerus karena mengakibatkan dependency secara terstruktur dan economic laziness.
      Bantuan ke Afrika oleh negara-negara maju sudah ada sejak tahun 70-an. Follow-up yang penulis ketahui dari rencana bantuan di Afrika adalah ditandatanganinya perjanjian Monterrey Consensus oleh oleh Amerika dengan mewakili negara maju untuk member bantuan sebesar 0.7 % dari GNP yang dimiliki. Tercatat bahwa jumlah Aid yang Afrika dapatkan pertahun sebesar 50 juta dollar US, dan ini sudah berlangsung selama beberapa dekade. Aid yang kita bicarakan disini bukan Aid yang berikan ketika ada bencana, seperti bantuan untuk korban Badai Katrina atau bantuan bantuan untuk korban Tsunami Aceh. Aid yang dibicarakan di sini adalah Aid yang diberikan secara berkala dan sistemik. Tentu dengan jumlah yang besar juga.
      Jika menurut kubu yang percaya dengan kebaikan Aid itu, maka dimana bukti bahwa Aid berperan dalam perkembangan Afrika? Sudah berapa banyak negara Afrika yang keluar dari jeratan extreme poverty? Sudah berapa banyak negara yang lepas dari kekurangan pangan dan kelaparan?  Sudah berapa negara yang “setidaknya” sudah dapat dikatakan menjadi memiliki ekonomi yang progresif? Sudah berapa negara yang juga ikut dalam perkembangan ekonomi, misalnya dalam forum G-20? Yah, memang ada beberapa negara yang bisa dikatakan berkembang, misalnya Afrika selatan. Tapi itu bisa dihitung dengan jari. Dari 54 negara di Afrika, yang dikatakan baik perekonomiannya cuma beberapa negara. Padahal Aid untuk membantu negara ini sudah berlangsung kurang lebih 50 tahun. Coba dipikir-pikir lagi efektivitas dari Aid itu sendiri. Di paragraf atas dijelaskan bahwa salah satu yang menjadi alasan bagi negara maju untuk membantu Afrika karena Afrika berada di kondisi alam yang tidak mendukung. Pertanyaannya adalah, selama 50 tahun Aid itu berjalan, mengapa infrstruktur untuk membantu perkembangan perdagangan ekonomi Afrika tidak banyak membantu? Jika misalnya terdapat isolasi ekonomi karena jauhnya pelabuhan dengan pusat perdagangan, maka mengapa tidak dibuat jalan raya atau infrastruktur untuk memperlancar distribusi barang. Kalau pun jalannya sudah ada dan infrastrukturnya sudah terbentuk, lalu mengapa Afrika masih dalam kemiskinan?
      Pertanyaan yang mendasar ditulisan ini adalah mengapa Aid itu justru berdampak buruk terhadap negara-negara Afrika dengan kata lain mengapa rasa prihatin negara maju tidak membantu Afrika untuk keluar dari masalah social ekonominya?
      Dambisa Moyo dalam bukunya “Dead Aid” mengatakan bahwa Aid mengakibatkan adanya Economic Laziness di negara-negara Afrika. Economic Laziness adalah keadaan dimana tidak ada geliat ekonomi yang berarti dalam suatu negara. Negara tidak menghasilkan pendapatan yang nantinya akan digunakan dalam membiayai pengeluaran negara. Sebagian besar expenditure negara menggunakan dana dari Aid itu sendiri. Bayangkan saja, Nigeria adalah salah satu negara yang menerima Aid dimana 97% persen dari APBN-nya berasal dari dana bantuan (Aid). Lalu dimana tanggung jawab pemerintah? Dimana peran pemerintah dalam perekonomian? Pemerintah seakan lepas tangan untuk mengusahakan perekonomian yang lebih baik untuk negaranya. Mereka terlalu nyaman dengan keadaan sekarang. Dimana mereka hanya perlu menengadahkan tangan dan bantuan pun mengucur.
      Ada Sepuluh alasan mengapa Aid itu tidak berhasil di Afrika menurut Dambisa Moyo. Alasan pertama menurutnya karena banyaknya korupsi di sana. Banyak contoh untuk membuktikan hal ini. Misalnya Mobutu Sese Seko dari Republic Democratic Kongo yang terbukti melakukan korupsi. Idi Amin yang juga terbukti korupsi. Baru-baru ini mantan Presiden Malawi ditangkap karena kasus korupsi. Hal ini membuktikan bahwa korupsi sudah mengakar dari atas ke bawah di sana. Manurut penulis sendiri, hal ini bukan terjadi tanpa sebab. Banyak korupsi yang terjadi adalah akibat dari keadaan yang terjadi disana. Bayangkan saja jika banyak bantuan berupa dana yang didapat oleh suatu negara Afrika, pemerintah pun bingung untuk menyalurkan kemana yang ujung-ujungnya masuk ke kantong sendiri.
      Dipikir-pikir, apa yang terjadi kepada negara yang mendapatkan bantuan (Aid) secara sistemik seperti menaruh bom waktu di negaranya. Negara penerima Aid, apalagi yang keseluruhan APBN bergantung pada Aid, tentu sangat butuh dengan Aid itu sendiri. Bom waktunya adalah bagaimana ketika NGO-NGO atau bantuan yang di sana diberhentikan? Saat ini, Amerika dan negara-negara Eropa juga berada dalam masa krisis. Bagaimana mungkin Amerika atau pun negara-negara Eropa akan mampu membantu Afrika jika negara pendonor sendiri sedang kesusahan dalam masalah ekonominya. Memang sekarang dana masih mengucur ke Afrika, tapi siapa yang bisa menggaransi jika 5 atau 10 tahun kedepan bantuan itu masih terus ada. Jika Afrika sendiri tidak menyadari masalah ini, selamanya mereka akan tetap dalam masalah yang sama.
      Pelajaran yang dipetik adalah bantuan (Aid) memang bisa sangat membantu. Tetapi jika Aid yang diberikan secara terus menerus, justru akan merusak mental penerima bantuan. Dimana mereka akan malas dalam berusaha dengan tangan sendiri.